BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Imam Ibnul Qayyim berkata, "Akhlak yang tercela adalah bermula dari
kesombongan dan rendah diri. Dari kesombongan muncul sikap bangga, sok tinggi,
hebat, ujub, hasad, keras kepala, zhalim, gila pangkat, kedudukan dan jabatan,
senang dipuji padahal tidak berbuat sesuatu dan sebagainya. Ibnul Qayyim juga
mengatakan bahwa sebagaimana akhlak terpuji, akhlak tercela juga memiliki akar
di mana satuan-satuannya dapat dikelompokkan. Jika akar perilaku manusia ada
dalam pikiran dan jiwanya, maka akar penyakit akhlak juga akan selalu ada
disana. Salah satu akhlak tercela (mazmumah) yang merupakan penyakit hati yaitu
ghibah dan takabbur.
Dalam makalah ini
pemakalah mencoba memaparkan pentingnya menjaga lidah dari bahaya membicarakan
orang lain baik sepengetahuannya atau pun tidak diketahui olehnya, dan
menjelaskan pentingnya menjaga hati dari sikap takabbur. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.
B. Permasalahan
Ada
beberapa hal yang akan menjadi kajian dalam tulisan ini, antara lain:
-
Pengertian ghibah dan takabbur
-
Landasan Al-Qur’an dan Hadits
mengenai ghibah dan takabbur
-
Contoh perilaku ghibah dan takabbur
-
Akibat perbuatan ghibah dan takabbur
-
Cara menghindari ghibah dan takabbur
C.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk:
-
Memenuhi tugas mata kuliah Akhlaq
-
Mengetahui akhlaq mazmumah yaitu ghibah dan
takabbur
-
Mengetahui dampak ghibah dan takabbur
BAB II
PEMBAHASAN
A.
GHIBAH
1.
Pengertian
Ghibah
Secara bahasa,
kata “ghibah” (غيبة)
berasal dari akar kata “ghaba, yaghibu” (غاب يغيب)
yang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak tampak. Kita sering
menyebut kata “ghaib”, yang berarti tidak hadir. Atau “Alghibah dalam bahasa
Arab, ialah: menyebutkan kata-kata keji atau meniru-niru suara atau perbuatan
orang lain dibelakangnya (tidak dipintunya) dengan maksud untuk menghinanya.[1]
Ghibah menurut
istilah adalah membicarakan kejelekan dan kekurangan orang lain dengan maksud
mencari kesalahan-kesalahannya, baik jasmani, agama, kekayaan,akhlak, ataupun
bentuk lahiriyah lainnya. Nabi Muhammad Saw menerangkan tentang ghibah dalam
Sabdanya:
“Dari Abu Hurairah. ra, bahwasanya
Rasulullah Saw bersabda: ”Tahukah kamu apa ghibah itu?” Para sahabat
mmenjawab:”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Nabi bersabda: ”Kamu
menyampaikan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”. Lalu Rasul ditanya:
”Bagaimana jika yang saya sampaikan itu merupakan (kenyataan) yang terjadi pada
diri saudaraku itu?” Nabi Saw bersabda: ”Jika yang kamu sampaikan itu benar
terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya. Jika tidak terjadi
pada dirinya, berarti kamu telah berbuat dusta kepadanya”. (HR. Muslim)
Ghibah adalah
menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak
suka (jika hal itu disebutkan) baik dalam soal jasmaniahnya, agamanya,
kekayaannya ,hatinya, akhlaknya, bentuk lahiriahnya dan sebagainya. Caranya pun
bermacam-macam diantaranya membeberkan aib, meniru tingkah laku atau gerak
tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan cara mengolok-ngolok.[2]
2.
Landasan Al-Qur’an dan Hadist Mengenai Ghibah
Allah swt berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6). Dalam surah Al
Hujurat ayat 6 di atas, Allah swt mengingatkan orang-orang mukmin untuk selalu
meneliti setiap kabar yang sampai kepada mereka sebelum mereka mengatakan itu
kepada yang lain. Hingga setiap perkataan seorang mukmin dapat dijamin
kebenarannya, sehingga fitnah dapat dihindari.Dijelaskan dalam sebuah ayat
lain, Allah swt berfirman,
“Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawaban”. (QS. Al-Israa’ : 36).
Selanjutnya Allah memerintahkan agar menjauhi
prasangka, sebagaimana dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat : 12).
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pergaulan, manusia
dihadapankan pada karakter manusia yang berbeda-beda satu sama lain. Tidak sedikit
dari karakter seseorang yang ada dalam lingkungan kita, tidak sesuai dengan
yang kita inginkan. Dari tingkah laku maupun perkataan seseorang dapat
menimbulkan pemikiran yang berbeda dalam hati kita. Dan dengan demikian dapat
menimbulkan prasangka yang bermacam-macam dalam hati. Allah swt melarang
seorang mukmin berprasangka terhadap orang lain, apalagi sampai berburuk
sangka. Berprasangka terhadap seseorang dilarang oleh Rasulullah dalam beberapa
hadits. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
r.a, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda, “Takutlah kamu
terhadap prasangka. Sebab sesungguhnya prasangka adalah sedusta-dusta
pembicaraan. Janganlah kamu mencari-cari dan meneliti kesalahan orang lain,
janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling membenci dan janganlah
kamu saling belakang membelakangi. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang
bersaudara sebagaimana Allah telah memerintahkan kepadamu. Orang muslim adalah
saudara muslim yang lain, tidak saling menzhalimi, tidak saling merendahkan dan
tidak saling menghina. Takwa adalah di sini, takwa adalah di sini”, (sambil
Rasulullah menunjuk ke arah dada. Kemudian melanjutkan sabdanya, “Cukuplah
keburukan bagi seseorang dengan menghina saudaranya sesama muslim. Setiap
muslim adalah haram atas muslim yang lain akan darah, kehormatan dan hartanya.
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuhmu dan rupamu, tetapi Allah
melihat kepada hatimu”. (HR. Muslim).
Dari sini kita dapat mengerti bahwa prasangka
terhadap seseorang yang ada di sekitar kita adalah suatu hal yang dapat
menimbulkan perbuatan ghibah terhadap orang tersebut dan kita telah melakukan
perbuatan lidah yang sangat dibenci oleh Allah dan RasulNya. Keburukan dari
prasangka juga dapat mempengaruhi perasaan kita, sehingga kita akan selalu
merasa was-was dan ragu terhadap apa yang ada pada kita dan lingkungan.[3]
Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda, “Dari
Abu Hurairah. ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: ”Tahukah kamu apa ghibah
itu?” Para sahabat menjawab: ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Nabi
bersabda: ”Kamu menyampaikan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”. Lalu
Rasul ditanya: ”Bagaimana jika yang saya sampaikan itu merupakan (kenyataan)
yang terjadi pada diri saudaraku itu?” Nabi Saw bersabda: ”Jika yang kamu
sampaikan itu benar terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya.
Jika tidak terjadi pada dirinya, berarti kamu telah berbuat dusta kepadanya”.
(HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).
3.
Contoh Perilaku
Ghibah
Ghibah adalah membicarakan sesuatu yang terdapat pda orang
lain, yang jika sampai kepada dia tidak akan menyukainya. Pembicaraan itu
misalnya :
a) Pembicaraan yang berkenaan dengan
Keburukan/ kekurangan tubuhnya, misalnya menyebutkan bahwa orang itu
penglihatannya rabun, kepalanya juling, kepalanya botak atau sifat-sifat lain
yang sekiranya tidak disukai untuk dibicarakan.
b) Pembicaraan yang berkenaan dengan
keturunan, misalnya menyebutkan bahwa seorang yang fasik, seorang yang struktur
sosialnya rendah atau sebutan-sebutan lainnya yang tidak disukai jika
dibicarakan.
c) Pembicaraan yang berkenaan dengan
akhlak, misalnya menyebutkan orang itu kikir, congkak, sombong, atau sifat lain
yang tidak disukai jika dibicarakan.
d) Pembicaraan yang berkenaan dengan
masalah agama, misalnya menyebutkan bahwa orang itu pencuri, pendusta, peminum
khamar, penghianat, penganiaan atau sebutan-sebutan lain yang tidak suka
dibicarakan.
e) Pembicaraan yang berkenaan dengan
urusan dunia, misalnya menyebutkan bahwa orang itu berbudi pekerti
rendah, menganggap remeh orang lain, tidak pernah menganggap hak orang lain
pada dirinya, dan sebutan-sebutan lain yang tidak disukai jika dibicarakan[4]
4.
Akibat
Perbuatan Ghibah
Banyak sekali akibat/dampak yang timbul karena
berbuat ghibah, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, diantaranya adalah:
a)
Nama baik seseorang bisa hancur
Berghibah bisa menyebabkan rusaknya nama baik
seseorang yang menjadi objek ghibah, karena keburukannya diceritakan kepada
orang lain. Jika apa yang diceritakan itu adalah benar, maka berarti aibnya
telah dibuka dihadapan orang lain, namun jika apa yang disebarluaskan itu
informasi yang salah, maka yang timbul adalah fitnah, dan dampaknya akan
menghancurkan nama baik seseorang.
b)
Menimbulkan rasa permusuhan dengan orang lain
Ghibah mengantarkan manusia kepada perkataan
sia-sia yang menimbulkan kebohongan. Kebohongan yang menimbulkan permusuhan.
Kemudian terjadilah saling serang menyerang dan terjadilah perpecahan[5].
c)
Menimbulkan perbuatan fitnah
Diawali dengan berghibah, lalu bisa menjalar
menjadi menyebar luaskan kejelekan orang dengan tujuan agar orang itu dibenci dan
dihina di tengah masyarakat, sehingga timbul fitnah. Dan untuk mengantisipasi
jangan sampai menimbulkan fitnah dalam Q.S Al-hujurat : 6 yang berbunyi “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
d)
Melemahkan kekuatan umat islam karena tidak
adanya persatuan dan kesatuan.
Ghibah berdampak pada permusuhan dengan orang
lain, selanjutnya berdampak pada perpecahan umat islam karena saling
menampakkan keburukan. Jika umat islam sudah terpecah, kekuatan umat islampun
akan melemah. Ini berawal dari salah satu akhlak mazmumah yaitu bergunjing.
5.
Ghibah yang
Diperbolehkan
Imam Nawawi
dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahwa
ghibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara’ yaitu yang disebabkan oleh enam
hal, yaitu:
a)
Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh
menceritakan dan mengadukan kedzaliman orang yang mendzhaliminya kepada seorang
penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara
dalam rangka menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 148:
“Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang
diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
b)
Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar
orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar. Pembolehan ini dalam
rangka isti’anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran
dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak.
dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak.
c)
Istifta’ (meminta fatwa) akan sesuatu hal. Dia
boleh menyebut nama seseorang dan tindakannya secara langsung. Walaupun kita diperbolehkan
menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati,
ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita
adukan.
d)
Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejelekan.
Menyebutkan
kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’[6]
bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
e)
Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang
yang berbuat fasik, seperti minum-minuman keras, menyita harta orang secara
paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya. Ketika
menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang
niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan.
f)
Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si
pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh
memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti. Tetapi
jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain
yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.
6.
Cara
Menghindari Ghibah
Untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan
penyakit yang sulit dideteksi dan sulit diobati ini ada beberapa kiat yg bisa
kita lakukan.
a)
Menyadari bahwa Allah SWT membenci orang yang
menggunjing (Ghibah).
Dengan slalu ingat bahwa Allah sangat membenci
seseorang yang mengunjing saudaranya, sedangkan kebaikan akan kembali pada
orang yang dibicarakan dan jika pun orang yang dibicarakan tidak memilki
kebaikan maka keburukannya akan kembali pada yang menggunjing.
b)
Mengingat bahwa kita juga memiliki kekurangan
(aib)
Hendaknya orang
yang melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha
memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri
bila membuka aib orang lain sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.
c)
Menyadari tentang bahayanya sifat ghibah
Sebelum berghibah, hendaknya memikirkan bahwa
ghibah begitu berbahaya untuk diri sendiri maupun orang lain, sehingga hilang
keinginan untuk berghibah.
d)
Menyadari bahwa ghibah adalah perbuatan dosa
“Dari Jabir dan Abu Sa'id mereka berkata,
Rasulullah SAW pernah bersabda: Jauhilah olehmu sifat ghibah karena ghibah itu
lebih besar dosanya dari pada zina. Ditanyakan kepada Rasul "bagaimana
bisa?" Rasulullah menjawab: seorang laki-laki berzina kemudian bertaubat
Allah akan mengampuni kepadanya dan orang yang mempunyai sifat ghibah Allah
tidak akan mengampuninya sehingga temannya mau mengampuninya.” Jadi dosa
ghibah tidak akan diampuni oleh Allah sebelum orang lain (kena ghibah) mau
mengampuninya. Dosa kepada Allah mudah untuk minta ampun. Sedangkan dosa
terhadap orang lain Allah belum mau mengampuni jika belum meminta maaf kepada
orang yang bersangkutan.
e)
Menyadari bahwa kita akan mendapat azab yang
pedih di dunia dan akhirat apabila kita menceritakan aib orang lain.
“Wahai sekalian yang beriman dilidahnya dan
belum masuk kedalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim
dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari-cari aib
saudaranya, niscaya Allah akan mencari aibnya, niscaya Dia akan membuka
kejelekannya meskipun berda dalam rumahnya”. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Ibn Hibban).
f)
Berdo’a mohon perlindungan Allah agar terhindar
dari perbuatan-perbuatan keji. Serta sebisa mungkin menjauhi perkumpulan-perkumpulan
yang tidak bermanfaat. Hindarilah segala sesuatu yang mendekatkan kita pada
ghibah. Seperti acara-acara bernuansa ghibah di televisi dan radio. Juga
berita-berita koran dan majalah yang membicarakan kejelekan orang. Jika
terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tak
mampu, setidaknya anda diam dan tak menanggapi ghibah tersebut. Atau anda
memilih hengkang dan ‘menyelamatkan diri.
B.
TAKABBUR
1.
Pengertian Takabbur
Secara bahasa
(etimologi), takabbur berarti “sombong” atau “berusaha menampakkan keagungan
diri”. Dalam kitab lisanul Arab, antara lain disebutkan bahwa at-takabbur wal
istikbar berarti at-ta’azzhum (sombong). Dalam Al-Qur’an pengertian ini
digunakan misalnya pada surat Al-A’raf ayat 146:
“Allah
akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa
alasan yang benardari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap
ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah
karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS. Al-A’raf
: 146).
Takabbur dapat
diartikan merasa atau menganggap diri besar dan tinggi yang disebabkan oleh
adanya kebaikan atau kesempurnaan pada dirinya, baik berupa harta, ilmu atau
yang lainnya[7].
Secara istilah (terminologi), takabbur berarti sikap seseorang yang
membangga-banggakan diri (ujub) yang berakibat pada penghinaan atau meremehkan
orang lain serta merasa tidak pantas untuk menerima kebenaran dari mereka.
Pengertian ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW: “Tidak
akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat takabur sebesar biji sawi.”
Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju
dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan
menyukai keindahan. Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang
lain.”
(HR. Muslim)
Dari hadits
ini, selain dijelaskan definisi takabur, juga didapatkan jenis takabur yang
dibedakan menjadi dua, yaitu takabur terhadap al haq dan takabur terhadap
makhluk. Takabur terhadap al-haq adalah dengan menolaknya, berpaling, dan tidak
mau menerima. Sedangkan takabur terhadap makhluk atau sesama manusia adalah
meremehkannya, merendahkan, memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan
melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain.[8]
Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari.
2.
Landasan
Al-Qur’an dan Hadits Mengenai Takabur
Allah SWT
berfirman,
“Dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak dapat menembus bumi, dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’: 37). Dalam surat Al-Isra
di atas, Allah SWT melarang untuk tidak menyombongkan diri, atau merasa dirinya
besar, padahal manusia sekali-kali tidak akan mampu menandingi kebesaran Allah
SWT.
Allah SWT juga
berfirman,
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al
Qashash:83). Dalil ini adalah penjelasan bahwa Surga ditempatkan untuk
orang-orang yang tidak sombong, dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi.
Selain
dalil yang terdapat pada Al-Qur’an, ada juga landasan dari Hadits Nabi Muhammad
SAW sebagai berikut: Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw
telah bersabda: “Ada tiga orang yang kelak di hari kiamat Allah tidak akan
berbicara dengannya, tidak akan memuliakannya, serta tidak akan memandangnya,
dan bagi mereka siksa yang sangat menyakitkan. Mereka adalah orang tua yang
berzina, pemimpin yang berkhianat, dan orang fakir yang takabur.” (HR.
Muslim dan Nasai).
Sahabat Abi
Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Allah swt berfirman,
bahwa kemuliaan adalah pakaian milik-Nya dan sifat takabur adalah hiasan
milik-Nya. Karena itu barangsiapa meminjam pakaian dan perhiasan Allah, maka
akan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
3.
Jenis-jenis
Takabbur
Secara umum, takabbur dibagi menjadi dua, yaitu
:
a)
Takabbur Batin
Sikap dalam jiwa yang tidak terlihat dan
melekat dalam hati, seperti membesarkan diri dalam hati, merasa dirinya benar, dan maksiat hati yang di cela.
b)
Takabbur
Zahir
Perbuatan atau tingkah laku yang dapat dilihat,
seperti merendahkan atau menyepelekan orang lain, tidak mau mengaku salah,
tidak mengikuti nasihat orang lain. Takabbur zahir adalah perwujudan dari
takabur batin.
4.
Sasaran atau
Contoh Perilaku Takabbur
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulum al-Diin, beliau telah
membagi takabbur kepada tiga bagian yaitu takabbur kepada Allah SWT, takabbur
kepada Rasulullah SAW, dan takabbur kepada sesama manusia:
a)
Takabbur kepada Allah SWT
Merasa besar di hadapan Allah SWT. Contoh :
perilaku Raja Firaun yang marah marah karena Nabi Musa dan Harun berdakwah
untuk mengajak dirinya beriman kepada Allah SWT. Namun Raja Firaun menganggap
ajakan tersebut sebagai suatu hinaan karena dia adalah orang yang harus ditaati
oleh seluruh manusia. Raja Firaun menanggap dirinya Tuhan, sehingga dia takabbur
dan tidak mematuhi perintah Allah SWT.
b)
Takabbur terhadap Rasulullah SAW
Enggan mengikuti petunjuk dan sunnahnya. Contoh
: manusia yang merasa sebagai ummat Nabi Muhammad SAW, namun tidak mau
mengikuti apa yang diajarkan olehnya. Dia berbuat sekehendak hati dan
kemauannya, tanpa mau mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
c)
Takabbur sesama manusia
Bersikap sombong di hadapan sesama makhluk
Allah SWT. Sikap yang paling menonjol adalah sikap penghinaan dan menganggap
remeh pendapat serta kerja orang lain, gampang menilai orang lain tidak punya
kemampuan, cepat marah apabila ada yang menyaingi, iri, dengki, bahkan dendam
terhadap orang lain yang memperoleh kelebihan dan kesempatan, takabur karena
harta, ilmu, amal, atau nasib yang dimiliki.
5.
Ciri-ciri
Orang yang Takabbur
Orang yang takabbur, memiliki cirri-ciri
atau tanda-tanda berikut ini :
a) Berjalan dengan angkuh
Orang
yang bersifat sombong akan menunjukkan keangkuhannya, misalnya dalam hal
berjalan sudah menunjukkan kesombongannya, keangkuhannya. Apabila bertemu
dengan orang lain yang dikenalnya memalingkan muka dengan merasa dirinya lebih
baik, dan lebih hebat darinya.
b)
Ingkar
kebenaran Allah.
Perintah
dan larangan Allah diingkarinya, tidak mau menjalankan perintah Allah SWT dan
tidak mau pula menjauhi larangan Allah SWT. Ayat-ayat Allah ditentang. Al
Hadits ditentang. Ia tidak mau menerimanya apalagi menjalankannya.
c)
Ujub
Ujub
yaitu kagum terhadap dirinya sendiri, membangga-banggakan dirinya sehingga ia
merasa lebih baik dan lebih unggul dibanding yang lain.
d)
Hobi
mencela dan mendramatisir persoalan.
Orang
yang bersikap takabbur akan selalu berprasangka yang buruk terhadap orang lain
hanya dirinyalah yang paling benar, paling jago, paling super dan paling mulia
serta dapat melakukan segala hal. Orang lain dianggapnya kecil, hina, rendah
tidak mampu berbuat apa-apa alias tak berdaya.
6.
Akibat Takabbur
Akibat negatif dari sifat takabbur antara lain[9]:
a)
Sikap tercela yang sangat dibenci oleh Allah
SWT
“…..Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” ( Q.S. An Nisa: 36 )
b)
Dibenci oleh orang lain karena keangkuhannya
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).
c)
Dapat mematikan hati manusia
“(Yaitu)
orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada
mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi
orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang
sombong dan sewenang-wenang.” ( Q.S. Al Mukmin: 35 )
d)
Tidak mensyukuri nikmat Allah SWT
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada
manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakangi dengan sikap yang sombong;
dan apabila diia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.” ( Q.S. Al Isra’:
83 )
e)
Berdosa dan sengsara di akhirat
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaanhina dina.” (QS.
Al Mu’min : 60)
7.
Cara Menghindari Takabbur
Agar terhidar dari sikap takabur, ada beberapa
cara yang bisa dilakukan[10],
yaitu :
a)
Memahami dan menyadari tentang bahaya takabur,
baik bahayanya di dunia maupun bahaya di akhirat nanti.
b)
Menerima setiap nikmat maupun kelebihan yang
dimiliki semata-mata karena karunia Allah SWT.
c)
Menyadari bahwa asal kejadian semua manusia
adalah sama, yakni dari sel sperma dan ovum. Yang mungkin manusia itu sendiri
merasa jijik bila melihatnya. Kalau kemudian menjadi makhluk yang sangat bagus
bentuknya semua itu karena kehendak dan kasih sayang dari Allah SWT, dan diri
kita sendiri tidak pernah memesannya kepada Allah SWT.
d)
Berusaha untuk dapat bergaul dengan siapa saja
dengan baik, tanpa membeda-bedakannya, serta bergaul dengan orang-orang yang
shalih.
e)
Segera mengikis benih-benih kesombongan di
dalam hati yang setiap saat dihembuskan oleh setan, dengan cara membaca
istighfar manakala kita menyadari telah berbuat sombong.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada dasarnya ghibah
dan takabbur adalah termasuk akhlaq mazmumah.Ghibah menurut
istilah adalah membicarakan kejelekan dan kekurangan orang lain dengan maksud
mencari kesalahan-kesalahannya, baik jasmani, agama, kekayaan,akhlak, ataupun
bentuk lahiriyah lainnya. Sedangkan takabbur Secara bahasa (etimologi), takabbur
berarti “sombong” atau “berusaha menampakkan keagungan diri”. Dalam kitab
lisanul Arab, antara lain disebutkan bahwa at-takabbur wal istikbar berarti
at-ta’azzhum (sombong). Ghibah dan takabbur dapat mengakibatkan kerugian bagi
pelakunya, baik kerugian di dunia, maupun di akhirat kelak.
B. SARAN
Dari berbagai pemaparan
di depan maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut :
Ø Sebagai
umat muslim kita hendaknya menghindari perilaku tercela seperti ghibah dan
takabbur.
Ø Hendaknya
kita senantiasa perbaharui iman, dan menjaga dari hal-hal yang dapat menjerumuskan
kita kepada perilaku ghibah dan takabbur.
Ø Hendaknya
selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bergaul dengan orang-orang yang
dapat meningkatkan keimanan kita.
Ø Hendaknya
kita selalu mengingat tujuan kita hidup di dunia ini, dan mengingat darimana
kita berasal, agar tidak ada kesombongan yang hinggap dalam diri kita.
Ø Hendaknya
kita selalu mengingat kematian, karena kematian dapat menyadarkan kita bahwa
kehidupan di dunia ini sementara, dan kita akan berusaha menjaga diri dari
akhlaq tercela.
DAFTAR PUSTAKA
Masyhur. 1985. Membina
Moral dan Akhlak. Jakarta: Kalam Mulia.
Ibrahim M. Al-Jamal. 1985. Penyakit-Penyakit
Hati. Bandung. Pustaka Hidayah.
Uwaidah, S.K.M. 2013. Fiqih Wanita.
Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
http://ujungkulon22.blogspot.com
http://almanhaj.or.id
http://ariffadholi.blogspot.com
http://arsipmoslem.wordpress.com
http://4moslem.wordpress.com
http://muaraimani.wordpress.com
http://www.bersamadakwah.com
http://rohissmpn14depok.wordpress.com
http://www.mutiaraislam.web.id
[1] Masyhur, Membina
Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, 1985:hal 217
[2] http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/01/17/hentikan-sekarang-juga-ghibah-menggunjing/
diakses pada tanggal 31 Oktober 2013
[3]Abdi Faisal, “Hindarilah Saling Menggunjing
(Ghibah)”, 4moslem wordpress, diakses dari http://4moslem.wordpress.com/2009/04/13/hindarilah-saling-menggunjing-ghibah/
pada tanggal 03 November 2013
[4]
Ibrahim M. Al-Jamal, “Penyakit-Penyakit Hati”, Pustaka Hidayah, Bandung, 1985
hal 82-83
[5]
Imannudin, “Bahaya Ghibah”, muara imani wordpress, diakses dari http://muaraimani.wordpress.com/2010/05/09/bahaya-ghibah/,
pada tanggal 05 November 2013
- [6] Ijma’ artinya kesepakatan para ulama. Kedudukannya menempati urutan ketiga. Artinya, apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama kaum muslimin telah ijma’
[7]
Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi, RaSAIL:
Semarang, Desember 2006, halaman 139
[8]
http://www.bersamadakwah.com/2010/07/takabur-1.html
diakses pada tanggal 07 November 2013
[9]
http://rohissmpn14depok.wordpress.com/kbm-pai/takabur/
diakses pada tanggal 07 November 2013
[10]
http://www.mutiaraislam.web.id/2013/01/menghindari-sifat-takabur.html
diakses pada tanggal 07 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar