BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Munculnya Paham Syi’ah
Syi’ah
secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “kelompok”. Sedangkan secara
terminologis, istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam
bidang spiritual dan keagamaan merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad SAW atau
orang yang disebut dengan ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah
pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl al-bait. Mereka
menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait
atau para pengikutnya.[1]
Syi’ah
adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan
karena mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah
pengganti Nabi Muhammad SAW berdasarkan wasiatnya, sedangkan khalifah-khalifah
seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatab, dan Ustman bin Affan dianggap
sebagai perampas kekhalifahan. Syiah lahir pada masa akhir kekhalifahan Ustman
bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu
terjadi pemberontakan terhadap khalifah Ustman bin Affan yang berakhir dengan
kematian Ustman dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib bersedia dibai’at
sebagai khalifah.
Khalifah
Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Siffin yang lazim
disebut peristiwa at-tahkim atau arbitrasi, akibat kegagalan itu sejumlah
pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali,
mereka ini disebut golongan Khawarij (orang – orang yang keluar ). Sebagian
besar orang-orang yang tetap setia kapada khalifah disebut Syi’atu Ali (
pengikut Ali ).
[2]Ada pendapat yang mengatakan bahwa munculnya Syiah merupakan
pengaruh dari tradisi di Persia yang memuliakan raja, sehingga hal tersebut
ditransformasikan kedalam Islam untuk mengagungkan para imam ahlu’l bait
(Keluarga Rasulullah Saw). Ada juga yang berpandangan bahwa Syiah muncul karena
adanya ulah oknum Yahudi bernama Abdullah bin Saba’, yang berpura-pura masuk
Islam hanya karena ingin memecah belah umat.
Menurut
Abul Halim Mahmud, pada awalnya “Syiah” hanyalah rasa cinta terhadap ahlul bait
(keluarga Rasulullah Saw) semata, sebagaiamana cintanya sahabat Salman
Al-Farisi r.a kepada ahlu’l bait. Kemudian rasa cinta tadi berkembang menjadi
kasih sayang yang berlebihan tatkala para Ahlul Bait tidak mendapatkan
kedudukan yang semestinya di masyarakat, dan setelah itu syiah pun menjadi
berlebih-lebihan, hingga menjadikan nash agama sesuai dengan kehendaknya, dan
menjadi sebuah kelompok yang kita kenal sekarang.
B.
Sekte-sekte Aliran Syi’ah
Selanjutnya,
meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak bisa mempertahankan
kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi
beberapa sekte besar. Perpecahan terjadi di kalangan Syi’ah itu terutama dipicu
oleh masalah doktrin imamah. Hal yang merupakan akar perpecahan dalam tubuh
kelompok Syi’ah adalah terkait dengan pengganti Imam Husein. Imam Husain
merupakan putra dari Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Kelompok pertama menyatakan
imamah (kepemimpinan) beralih kepada Ali Zaenal Abidin, putra Husein bin Ali,
sedangkan kelompok kedua menyatakan imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah,
putra Ali bin Abi Thalib.
Akibat
perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para
ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah dan Ghulat.
1.
Syi’ah
Kaisaniyah
Kelompok ini meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi Thalib
beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat
mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas
budak Ali bin Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar
bin Abi Ubaid yang memiliki nama lain Kaisan. Sekte Kaisaniyah ini terbagi
menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali kepada dua paham yang
berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa
Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin
Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan beralih kepada yang lain.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara lain:
§ Mereka tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali
ibn Abi Thalib.
§ Mereka mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya.
Bahkan kebanyakan pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah
itu tidak meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.
§ Mereka menganggap bahwa Allah SWT itu mengubah kehendak-Nya menurut
perubahan ilmu-Nya. Allah SWT memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula
kebalikannya.
§ Mereka mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).
§ Mereka mempercayai adanya roh.
Sub sekte Syi’ah Kaisaniyah:
v Mukhtariyah: Mereka adalah para pengikut Al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid
Al-Tsaqafi.
v Hasyimiyah: Mereka adalah kepada Abu Hasyim bin Muhammad bin
Al-Hanafiyah.
v Bayaniyah: Mereka adalah pengikut Bayan bin Sam’an Al-Tamimi.
v Razamiyah: Mereka adalah pengikut Razam bin Razm.
2.
Syi’ah
Imamiyah
Kelompok Imamiyyah ini merupakan kelompok Syi’ah terbesar hingga
saat ini dan berkembang di Iran, serta di ikuti oleh beberapa kalangan di
Indonesia.
Mereka menyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi
Thalib sebagai pengganti dengan jelas dan tegas. Kelompok Syi’ah ini tidak
mengakui kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khaththab dan Utsman bin
Affan. Mereka juga memiliki keyakinan
bahwa imam pertama mereka adalah Imam Ali (bin Abi Thalib), kemudian secara
berturut-turut: Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad al-Baqir, dan Ja’far
al-Shadiq. Sepeninggal Ja’far al-Shadiq mereka berbeda pendapat mengenai
penggantinya, sehingga terpecah menjadi 2 yaitu:
Pertama, Syi’ah Istna
‘Asyariah (Syi’ah Dua Belas)
a.
Asal-usul
penyebutan Syi’ah Istna ‘Asyariah
Sekte Itsna ‘Asyariyyah merupakan sekte terbesar Syi’ah saat ini.
Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah menyakini bahwa jabatan imamah tersebut pindah kepada
anak Ja’far al-Shadiq yang bernama Musa al-Kadzim. Berikut ini adalah daftar
imam dua belas:
·
Ali
bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
·
Hasan
bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
·
Husain
bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
·
Ali
bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
·
Muhammad
bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
·
Jafar
bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
·
Musa
bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
·
Ali
bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
· Muhammad
bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
·
Ali
bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
·
Hasan
bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Askari
·
Muhammad
bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
Nama dua belas (Istna ‘Asyariah) ini mengandung pesan penting dalam
tinjauan sejarah, bahwa golongan ini terbentuk setelah lahirnya semua imam yang
berjumlah dua belas, yaitu kira-kira pada tahun 260H/878M.[3]
b.
Doktrin-doktrin
Syi’ah Istna ‘Asyariah
Di
dalam sekte Istna ‘Asyariah dikenal konsep Ushuluddin, yang memiliki lima akar:[4]
1)
Tauhid
Tuhan dalah
Esa, baik esensi maupun eksistensiNya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia
bereksistensi dengan sendiriNya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya, Tuhan
bereksistensi dengan sendirinya sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu
diciptakan oleh Tuhan. Tuhan maha tahu, maha mendengar, selalu hidup, mengerti
semua bahasa, selalu benar dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak murakkab
(tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu, ia berdiri sendiri, tidak dibatasi
oleh ciptaan-Nya dan Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata biasa.
2)
Keadilan
(Al-Adl)
Tuhan
menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadilan, ia tidak pernah
menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan, karena ketidakadilan terhadap yang
lain merupakan tanda kebodohan dan ketidak mampuan, dan sifat ini jauh dari
keabsolutan kehendak Tuhan.
3)
Nubuwwah
Dalam keyakinan
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Tuhan telah
mengutus 124.000 rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
percaya mutlak tentang ajaran tauhid dangan kerasulan sejak Adam dan Muhammad
dan tidak ada nabi dan rasul setelah Muhammad.
4) Ma’ad
adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat.
5)
Imamah
Imamah adalah
institut yang disahkan tuhan untuk memberi petunjuk manusia yang dipilih dari
keturunan Nabi Ibrahim dan dilegasikan kepada keturunan Muhammad, sebagai nabi
dan rasul terakhir. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berpijak kepada delapan cabang
agama yang di sebut dengan furuad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas
sholat, puasa, haji, zakat, khumus (pajak sebesar seper lima dari penghasilan),
jihad, al – amr bi al-ma’ruf,dan an-nahyu an-al-munkar.
Kedua, Syi’ah
Sab’iyah/Syi’ah Isma’iliyah/Syiah Tujuh
Syi’ah ini menyakini bahwa jabatan imamah tersebut pindah kepada
anak Ja’far al-Shadiq bernama Isma’il. Sekte Isma’iliyah adalah sekte dengan
jumlah penganut kedua terbesar dalam ajaran Syi'ah, setelah mazhab Dua Belas
Imam (Istna 'Asyariah). Sekte Syi’ah ini hanya mengakui tujuh imam, tujuh imam
itu adalah Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far
Ash-Shadiq, dan Ismail bin Ja’far.
a.
Konsep
Imamah Syi’ah Sab’iyah
Para pengikut
Syi’ah Sab’iyah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijelas
oleh Al-Qadhi An-nu’man dalam Da’ain al-islam. Tujuh pilar tersebut adalah
iman, thaharah, sholat, zakat, shaum, haji dan jihad. Berkaitan dengan rukun
pertama,yaitu iman, Qadhi an-nu’man (974M) merincinya dengan iman kepada surga,
iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada hari pengadilan, iman
kepada para nabi dan rasul, iman kepada imam, percaya mengetahui dan
membenarkan iman zaman. Dalam pandangan kelompok Syi’ah Sab’iyah, iman hanya
dapat diterima bila sesuai dengan keyakinan mereka, yakni melalui
wilayah(kesetiaan) kepada iman zaman.
b.
Doktrin
Syi’ah Sab’iyah
Syiah Sab’iyah
sangat ekstrim dalam menjelaskan kamaksuman imam, kelompok ini berpendapat
bahwa imam walupun kelihatan melakukan kesalahan dan menyimpang dari syari’at, ia
tidaklah menyimpang karena mempunyai pengetahuan yang tidak di miliki manusia
biasa. Sekte Sab’iyah berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri imam,
oleh karena itu imam harus di sembah. Menurut Sab’iyah, Al-Qur’an memiliki
makna batin selain makna lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau tersurat
dari syari’at itu diperuntukan bagi orang awam yang kecerdasannya terbatas dan
tidak memiliki kesempurnaan rohani. Mengenai sifat Allah,-sebagaimana halnya
Mu’tazilah-Sab’iyah meniadakan sifat dari zat Allah.[5]
Dengan prinsip
takwil, Ismailiyah menakwilkan menurut hawa nafsu mereka sendiri, misalnya ayat
al-qur’an tentang puasa, mereka takwili dengan menahan diri dari menyiarkan
rahasia-rahasia imam. Dan ayat al-qur’an tentang haji ditakwilkan dengan
mengunjungi imam. Bahkan diantara mereka ada yang menggugurkan ibadah. Mereka
itu adalah yang telah mengenal imam dan telah mengetahui takwil melalui imam.[6]
3.
Syi’ah
Zaidiyah
Syiah Zaidiyah muncul sepeninggal Ali Zain al Abidin --imam ke
empat dalam Syiah Imamiyah-- Nama kelompok ini diambil dari nama pemimpinnya,
yaitu Zaid bin Ali Zain al Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syiah
Zaidiyah muncul pada tahun 94 H ketika Ali Zain al Abidin wafat. Saat itu
kelompok Syiah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pengikut Zaid bin
Ali dan kelompok pengikut Muhammad al Baqir bin Ali, saudara Zaid bin Ali
sendiri. Syiah Zaidiyah merupakan Syiah yang moderat.[7] Abu
Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan
Sunni. Urutan imam mereka yaitu:
Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali
asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
a.
Konsep
Imamah Syi’ah Zaidiah
Menurut Syiah
Zaidiyah, seorang Imam harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[8]
§ Ia merupakan keturunan ahl bait., baik melalui garis Hasan maupun
Husain. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nas
kepemimpinan. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang
imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad.
§ Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan
diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang merupakan
salah satu ciri sekte Syiah lainnya. Bagi mereka pemimpin yang menegakkan
kebenaran dan keadilan adalah Mahdi.
§ Memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan
melalui ide dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman imam,
bahkan mengembangkan doktrin imamat al mafdul, artinya seseorang dapat dipilih
menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama
ada yang afdhal.
Walaupun Syiah Zaidiyah mengakui bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan
sahabat Nabi yang paling utama (afdhal) yang menyatakan paling berhak menjadi
imam, namun mereka mengakui Imamah Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Ustman bin
Affan. Inilah yang mereka sebut dengan Imam al-mafdul.
b.
Doktrin-doktrin
Syi’ah Zaidiyah
Syiah Zaidiyah
dalam bidang teologi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan aliran
Muktazilah. Hal ini tidak mengherankan karena Zaid bin Ali sendiri adalah murid
dari Wasil bin Atha’, seorang pendiri aliran Muktazilah. Teologi Muktazilah
menyebutkan di antara ciri orang yang beriman ialah harus amar ma’ruf nahi
munkar (mengajak kepada kebenaran dan menjauhi kepada kemunkaran). Maka dari itu
seorang imam haruslah memproklamirkan diri kepada masyarakat dengan cara
memberantas kebathilan dan mengajak/menunjukkan kepada sesuatu kebenaran.
Penganut Syiah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan
kekal dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya.[9]
c.
Sub
Sekte Syi’ah Zaidiyah
v Jarudiyah: Mereka adalah pengikut Abu Al-Jarud Ziyad bin Abi Ziyad.
v Sulaimaniyah: Mereka adalah pengikut Sulaiman bin Jarir.
v Shalihiyah dan Batriyah: Shalihiyah adalah para pengikut Al-Hasan
bin Shalih bin Hay sedangkan Batriyah adlah para pengikut Katsir Al-Nawa
Al-Abtar.
4.
Syi’ah
Ghulat
a.
Asal-usul
Syi’ah Ghulat
Kelompok
syi’ah ini adalah syi’ah ekstrim yang melebih-lebihkan Sayyidina Ali bin Abi
Thalib. Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu
Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide
Syi'ah awal yaitu Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh
pembesar Syi'ah seperti Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa al Firâq (hlm.
10-21), sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan Ali dan
mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Sebagaimana hal
itu juga diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang terkenal Rijalul Kasyi (hlm.
170-174). Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan.
Padahal Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan
Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim. Kelompok Saba'iyah
juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan
seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik
kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan Kilat adalah
senyumnya.
Kelompok
lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski
tak seekstrim Saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingkat
Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat
dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima
kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa
mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.[10]
b.
Doktrin
Syi’ah Ghulat
Doktrin yang
membuat mereka ekstrim, yaitu:[11]
1) Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat ke jasad
yang lain. Syi’ah Ghulat berpendapat bahwa roh Allah berpindah kepada Adam, dan
seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
2) Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan
perubahan ilmu-Nya, keputusan Allah yang mampu mengubah suatu peraturan atau
keputusan yang telah ditetapkanNya dengan keputusan baru.
3) Raj’ah ada hubungan dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa imam
Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi.
4) Tasbih artinya menyerupakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang
imam mereka dengan Tuhan atau menyerupai Tuhan dengan makhluk.
5) Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua
bahasa, dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti
Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus di sembah.
6) Ghayba (occultation) artinya menghilangnya imam Mahdi. Ghayba merupakan
kepercayaan Syi’ah bahwa imam Mahdi itu ada didalam negeri ini dan tidak dapat
dilihat oleh mata biasa.
C.
Tokoh-tokoh Aliran Syi’ah
Adapun tokoh
yang penulis maksud di sini ialah, orang yang terkemuka dan kenamaan dalam
kelompok Syiah. Menurut Abu Hasan Al-Asyari: Bayan bin Sam’an, Abdullah bin
Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far, Abullah bin Amru bin Harb, Almughiroh bin
Sa’id, Abu Mansur Al’Ijli, Abu Khitob bin Abi Zainab, Muhammad bin Alhanafiyah,
Abu Karb Ad Doriri, dll.[12]
Adapun
beberapa tokoh yang disebutkan oleh Abdul Qohir Al-Baghdadi dalam kitabnya
Al-farqu baina’l Firoq ialah; Abil Jarud Ziyad bin Abil Ziyad, Sulaiman bin
Jarir Azzaidi, Hasan bin Solih bin Hay, Almukhtar bin abi Umaid Atsaqofi, Abu
Kamil, Muhammad bin Ali (Al-Baqir), Yahya bin Syamith, Ammar, Ismail bin
Ja’far, Musa bin Ja’far, Hisyam bin Hakam, Hisyam bin Salim Aljawaliki, Yunus
bin Abdirrahman Al-Qumi, Muhammad bin Nu’man Arrafidli.[13]
[1]
Rosihon Anwar, AKIDAH AKHLAK, Bandung, Pustaka Setia (2008), cet.1 hal.
65
[2] http://go-cathar.blogspot.com/2013/03/sejarah-perkembangan-syiah.html
[3]
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II, terj. Muhtar Yahya,
Pustaka Al-Husna (1983), Jakarta, hal. 220
[4]
Salman Ghaffari, Shia’ism, Haidari Press (1967), Teheran, hal. 41-42
[5] http://ilmudanalquran.blogspot.com/2012/11/pengertian-kemunclan-dan-macam-macam.html
[6]
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam. jilid II, terj. Muhtar Yahya, Pustaka
Al-Husna, Jakarta 1983, hal. 230
[7]
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam., terj. Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Logos (1996), Jakarta. Hal. 45
[8] Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia (2006), Bandung. Hal 101-102
[9] http://mohismaiel.blogspot.com/2013/06/syiah-imamiyah-zaidiyah-dan-ismailiyah.html
[10] http://www.stidnatsir.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=107:sekte-sekte-dalam-syiah-dan-tokoh-tokohnya&catid=29:artikel&Itemid=86
[11]
Rosihon Anwar, AKIDAH AKHLAK, Bandung, Pustaka Setia (2008), cet.1 hal.
76-77
[12] Abu
Hasan Al-Asyari, Maqolatul Islamiyin.pdf. Hal. 5
[13] Abdul
Qohir bin Thohir bin Muhammad Al-Baghdadi, Alfarqu baina’l Firoq. 1995
Ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid . hal. 29